KEHAMILAN PRETERM DENGAN KETUBAN
PECAH DINI
Noviardi1, Personaldi2
1Bagian
Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru
2Mahasiswa
Fakultas Kedokteran Universitas Riau
Pecahnya selaput
ketuban merupakan suatu hal yang normal pada saat proses persalinan. Kehamilan preterm dengan
ketuban pecah dini dimaksudkan pada pecahnya selaput ketuban sebelum usia
kehamilan 37 minggu dan sebelum adanya tanda-tanda persalinan. Diagnosis yang
tepat dan akurat dan sesuai usia kehamilan saat diagnosis ditegakkan sangat diperlukan
untuk meningkatkan luaran janin dan meminimalkan komplikasi yang terjadi.
Pendahuluan
Kehamilan
preterm dengan ketuban pecah dini (Preterm
Premature Rupture of Membrane, PPROM) digunakan untuk kondisi pecahnya
selaput ketuban yang terjadi secara spontan saat kehamilan kurang dari 37
minggu dan sebelum terjadinya proses persalinan.1,2 Hal ini
merupakan 2-4% komplikasi dari kehamilan janin tunggal dan merupakan 20%
komplikasi dari kehamilan kembar.3
Pembagian
dari PPROM ini meliputi previable PROM
yaitu terjadi sebelum janin berumur 23 minggu, PPROM remote from term (umur viabel sampai 32 minggu) dan PPROM near term (usia kehamilan 32-36 minggu).4
Sebanyak
30-40% dari PPROM ini akan berujung dengan persalinan preterm. Hal ini menambah
risiko prematuritas dan komplikasi perinatal serta neonatal, termasuk 1-2%
risiko kematian janin. Ibu hamil yang diawasi harus segera dikenali kondisi PPROM
karena diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat akan meningkatkan hasil
akhir janin.1
Ada banyak hal yang
diperkirakan sebagai penyebab, terutama infeksi. Pada banyak penelitian dan
literatur dikatakan bahwa kejadian sepsis neonatorum setelah PPROM berkisar
2-20% dengan kejadian kematian neonatal akibat infeksi sekitar 5%.1
Etiologi dan Faktor Risiko
Pada
kondisi aterm di lokasi pecahnya ketuban didapatkan penebalan dari komponen
jaringan ikat membran, penipisan lapisan sitotrofoblas dan desidua, serta terpisahnya hubungan cairan amnion dan korion.
Perubahan dari kondisi fisiologis ini meliputi pematangan serviks dalam
persiapan menghadapi persalinan aterm, dengan hasil terdapatnya kelemahan fokal
pada selaput ketuban pada daerah ostium uteri internum yang merupakan daerah
predisposisi ruptur.3
Pada
tingkat selular, perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat efek dari
pengeluaran fosfolipase, eikosinoid terutama prostaglandin E2, sitokin,
elastases, matrix metalloproteinase (MMP), dan enzim protease lainnya dalam
respon terhadap stimulus kondisi fisiologis maupun patologis. Sekalipun
perubahan selular pada keduanya sama, tetapi penyebab keduanya berbeda.3
Adapun
faktor risiko yang diperkirakan untuk terjadinya PPROM spontan telah
diidentifikasi yakni: Infeksi cairan amnion dan perdarahan desidua akibat
solusio plasenta yang terjadi jauh sebelum aterm akan melepaskan protease
kedalam jaringan koriodesidual dan cairan amnion yang akan memicu pecahnya
ketuban.3,5 Tindakan atau prosedur selama kehamilan (seperti
amniosentesis, CVS, fetoskopi dan cervical
cerclage) dapat menimbulkan kerusakan pada membran amnion, menyebabkannya
menjadi bocor, tetapi jarang menyebabkan PPROM.3
Risiko
untuk kejadian PPROM berulang berkisar 16-32%, sebagaimana dibandingkan dengan
kira-kira 4% pada wanita dengan kelahiran sebelumnya normal. Angka ini akan
meningkat jika ada bukti bahwa ditemukan penipisan serviks maupun kontraksi
uterus pada trimester kedua. Akan tetapi kebanyakan dari kasus PPROM terjadi
pada perempuan sehat tanpa dijumpai faktor risiko apapun. Faktor lain yang
terkait adalah status sosial ekonomi yang rendah, indeks massa tubuh kurang
dari 19,8 dan merokok.6 Adapun hubungan seksual, pemeriksaan dengan
spekulum, latihan jasmani pada ibu hamil serta jumlah paritas tidak terkait
dengan kejadian PPROM.3
Periode
laten merupakan interval waktu antara pecah ketuban dengan onset persalinan.
Faktor-faktor berikut terkait dengan periode laten tersebut, diantaranya
meliputi usia kehamilan, derajat oligohidramnion, penebalan miometrium pada
sonografi, jumlah fetus, komplikasi kehamilan.3
a. Usia
kehamilan.
Terdapat
hubungan berbanding terbalik antara usia kehamilan dan periode laten. Saat
aterm 50 % dari kehamilan dengan ketuban pecah dini akan partus secara spontan
dalam kurun waktu 12 jam, 75% dalam 24
jam, 85% dalam 48 jam dan 95% dalam 72 jam tanpa adanya intervensi apapun. Pada
PPROM 50% akan inpartu dalam 24-48 jam dan 70-90% dalam 7 hari. Wanita dengan PPROM
pada usia kehamilan 24-28 minggu memiliki periode laten yang lepih lama
dibandingkan dengan PPROM yang mendekati aterm.
b. Derajat
oligohidramnion.
Kondisi
oligohidramnion berat akan mempersingkat periode laten. Oligohidramnion berat
akan menghadirkan lubang besar dalam membran amnion.
c. Penebalan
miometrium pada sonografi.
Bukti dari
penebalan miometrium berlebihan pada
perempuan PPROM yang belum inpartu (12mm) pada transabdominal ultrasound
dikaitkan dengan pemendekan periode laten.
d. Jumlah
fetus.
Secara umum,
pada kondisi kehamilan gemeli disertai PPROM akan memiliki periode laten yang
lebih singkat dibandingkan dengan kehamilan tunggal
e. Komplikasi
Kehamilan.
Bukti
menunjukkan bahwa pada kehamilan disertai komplikasi seperti infeksi intra
amnio, solusio plasenta maupun fetal distress akan memicu pelahiran yang lebih
awal dan pemendekan periode laten.
Diagnosis
Secara
luas PPROM merupakan suatu diagnosis klinis. Dari anamnesis dijumpai adanya
riwayat keluar air-air yang banyak dari vagina dan dikomfirmasi dengan
pemeriksaan inspekulo. Pemeriksaan minimal invasif yang menjadi gold standard dalam mendiagnosis ketuban
pecah dini meliputi 3 tanda klinis dalam pemeriksaan inspekulo, yakni: 1).
Terlihat cairan jernih dalam forniks posterior atau adanya cairan yang keluar
dari OUE. 2). Pemeriksaan pH sekret servikovaginal dengan tes nitrazin
menunjukkan perubahan warna dari kuning menjadi biru. 3). Ditemukannya gambaran
daun pakis secara mikroskopis. Adapun perkiraan jumlah cairan amnion yang
sedikit dari pemerikasaan Leopold maupun ultrasound saja tidak dapat menegakkan
diagnosis. Dengan pengecualian melihat langsung cairan amnion keluar dari OUE,
semua tanda-tanda klinis lainnya memiliki keterbatasan dalam perihal ketepatan
diagnosis, biaya dan teknis.3
Pemeriksaan yang dilakukan setelah lebih dari
1 jam pecah ketuban secara umum menjadi kurang akurat. Mempercayakan pada
pemeriksaan klinis saja akan menimbulkan positif palsu dan negatif palsu secara
bersama-sama pada hasil. Misalnya tes nitrazin yang hanya dipakai untuk
mengkonfirmasi pH alkali dari sekret servikovaginal (pH sekret vagina umumnya
4,5-6 sedangkan pH cairan amnion 7,1-7,3) digunakan secara umum untuk
mendiagnosis ketuban pecah dini. Padahal hal ini tidak lepas dari adanya
positif palsu terkait servisitis, vaginitis (bakterial vaginosis) dan kontaminasi
oleh darah, urin, sperma maupun bahan antiseptik. Adapun sensitivitas dan
spesifisitas dari tes ini berturut-turut berkisar 90-97% dan 16-70%. Tes pakis
juga tidak luput oleh kemungkinan negatif palsu pada kondisi pengambilan
spesimen yang terlalu sedikit atau terkontaminasi darah.3
Ketepatan diagnosis
sangat dibutuhkan karena sangat terkait dengan intervensi yang akan dilakukan.
Selain itu penting untuk mendiagnosis kasus ini sedini mungkin karena sangat
menentukan luaran janin. Sebaliknya kesalahan mendiagnosis sebagai PPROM akan
memicu intervensi obstetri yang tidak perlu seperti perawatan inap di rumah
sakit, pemberian antibiotik dan kortikosteroid atau bahkan induksi persalinan.3
Komplikasi
Komplikasi
yang ditimbulkan ketuban pecah dini tergantung akan usia gestasi. Dapat terjadi
infeksi pada ibu maupun janin, persalinan prematur, hipoksia akibat kompresi
tali pusat, deformitas pada janin, meningkatkan kasus seksio sesarea dan
gagalnya persalinan normal.5
Salah
satu komplikasi terbanyak yang dijumpai pada PPROM adalah persalinan preterm.1
Permasalahan yang ditemukan pada persalinan preterm tidak hanya seputar
kematian perinatal, lebih dari itu bayi prematur akan diliputi oleh berbagai
kelainan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kelainan jangka pendek
meliputi Respiratory distress syndrome, perdarahan intraventrikular,
Enterokolitis negrotikans, displasia bronkopulmoner, sepsis dan patensi duktus
arteriosus. Adapun efek jangka panjang berupa kelainan neurologis seperti
serebral palsi retardasi mental serta prestasi di sekolah yang kurang baik.5
Usia
kehamilan saat terjadinya ketuban pecah dini pada dasarnya akan bertolak
belakang dengan lamanya periode laten. Kasus ketuban pecah dini pada wanita
hamil aterm sebanyak 95% akan melahirkan
dalam kurun 24 jam setelah kejadian, sedangkan pada PPROM yang terjadi saat
gestasi 16-26 minggu dijumpai melahirkan sebanyak 57% dalam waktu 1 minggu dan
22% dalam waktu 1 bulan. Saat timbul PPROM yang terlampau dini akan berkaitan
dengan malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion, kelainan neurologi,
perdarahan otak, sindrom gawat nafas dan enterokolitis nekrotikans.1 Lewis
et al (2007) menemukan bahwa
penatalaksanaan secara ekspektatif pada wanita dengan ketuban pecah dini
preterm disertai kelainan presentasi akan meningkatkan kejadian prolapsus tali
pusat, terutama sebelum 26 minggu.6
Korioamnionitis merupakan komplikasi
yang cukup sering dijumpai pada kasus PPROM. Demam merupakan tanda penting
untuk diagnosis selain leukositosis, takikardi ibu atau janin, nyeri tekan pada
uterus, dan sekret vagina yang busuk. Korioamnionitis ini memiliki efek buruk
pada janin, diantaranya peningkatan insidensi sepsis, sindrom distres
pernafasan, kejang awitan dini, perdarahan otak, dan leukomalasia
periventrikular. Bahkan dikatakan bahwa neonatus dengan berat badan lahir
sangat rendah akan cenderung mengalami cedera neurologis akibat korioamnionitis
seperti peningkatan kejadian serebral palsi setelah anak berusia 3 tahun.6
Pengelolaan
Wanita
yang berisiko untuk mengalami persalinan prematur dan memiliki kontraksi dini
menjadi sasaran untuk pemberian penanganan untuk meningkatkan luaran janin.
Bila tidak ditemukan indikasi ibu maupun janin untuk membutuhkan persalinan
segera maka penanganan ditujukan untuk mencegah persalinan prematur. Penanganan
meliputi terminasi kehamilan atau dengan ekspektatif. Penting untuk menentukan
perlu tidaknya pemberian antibiotik, kortikosteroid atau keduanya. Setelah adanya
konfirmasi pecah ketuban, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:1
1. Pembukaan
dan pendataran serviks dilihat dari pemeriksaan inspekulo yang dilakukan secara
steril.
2. Untuk
kehamilan dibawah 34 minggu jika tidak ditemukan indikasi ibu maupun janin
untuk diterminasi ibu dirawat di kamar bersalin. Pemberian antibiotik parenteral
dengan spektrum luas untuk menghindari korioamnionitis. Denyut jantung janin
(DJJ) dan kontraksi uterus terus dimonitor untuk mengamati adanya penekanan
tali pusat, fetal distress maupun tanda-tanda persalinan.
3. Kehamilan
dibawah 32 minggu, dilakukan pemberian betametason (2 dosis 12 mg IM per 24
jam) atau deksametason (4 dosis 5 mg IM per 12 jam).
4. Jika
kondisi janin baik dan tidak ditemukan tanda-tanda inpartu ibu dipindahkan ke
ruang perawatan antepartum serta dimonitor adanya tanda-tanda inpartu, infeksi
maupun gawat janin.
5. Untuk
kehamilan diatas atau sama dengan 34 minggu jika tidak terdapat tanda inpartu
dilakukan induksi persalinan apabila tidak ada kontra indikasi. Pelahiran
perabdominal dilakukan bila ada indikasi secara obstetri, termasuk gagal
induksi.
6. Selama
induksi pemberian antibiotik parenteral diberikan untuk mencegah infeksi
streptokokus.
Penggunaan
kortikosteroid oleh National Institute of Health Consensus Development
Conference (2000) direkomendasikan selama antenatal pada wanita dengan ketuban
pecah dini sebelum 32 minggu dan tidak terdapat tanda-tanda korioamnionitis.
American College of Obstetricians and Gynecologist (2007) tidak menyarankan
untuk pemberian kortikosteroid sebelum
24 minggu.6
Pemakaian antibiotik untuk mencegah
persalinan kurang bulan banyak dilakukan dibeberapa sentra. Morency dan Bujold
(2007) melakukan studi metaanalisis terhadap 61 artikel dan menyatakan bahwa
antibiotik yang diberikan pada trimester kedua dapat mencegah kelahiran kurang
bulan berikutnya. Pada studi oleh Goldenberg et al (2006) yang melibatkan 2.661
wanita secara random di empat tempat di Afrika dengan menggunakan plasebo atau
eritromisin ditambah metronidazol saat usia kehamilan 20-24 minggu, dan diikuti
dengan ampisilin dan ditambah dengan metronidazol selama persalinan dikatakan
tidak mengurangi tingkat kelahiran prematur ataupun korioamnionitis.6
Penggunaan tokolitik hingga kini
masih menjadi perdebatan. Tujuan utama adalah untuk menurunkan terjadinya
persalinan dalam 48 jam atau 7 hari setelah pemberian obat khususnya untuk
memberikan kesempatan pemberian pematangan paru. Tokolitik hanya
direkomendasikan untuk kehamilan preterm dengan ancaman persalinan yang tidak
disertai dengan komplikasi lain, seperti kelainan kongenital, infeksi intra
uterin, preeklamsi berat, solusio plasenta, adanya insufisiensi plasenta yang
berat, dan dilatasi serviks yang lanjut. Tokolitik terpilih adalah nipedipine
dan atosiban yang memiliki efektifitas sebanding dalam menunda persalinan
hingga tujuh hari.7
Amnioinfusi
Oligohidramnion merupakan faktor risiko terjadinya keabnormalan pada
denyut jantung janin selama persalinan. Percobaan pada monyet Rhesus
memperlihatkan bahwa kehilangan cairan amnion berkaitan dengan deselerasi
jantung janin dan membaik setelah penggantian volume cairan. Moberg et al
melaporkan bahwa pasien dengan PPROM mempunyai insidensi seksio sesarea lebih
tinggi karena fetal distress dibandingkan dengan persalinan preterm disertai
membran yang utuh.8
Berbagai penelitian telah
mengevaluasi apakah amnioinfusi intrapartum bisa mencegah morbiditas janin
akibat ketuban yang tercampur mekoneum, dan sering dikaitkan dengan
oligohidramnion. Pierce et al (2000) melakukan meta analisis terhadap 13
penelitian yang terdiri dari 1900 wanita. Ditemukan penurunan hasil buruk
secara signifikan yang mencakup mekoneum dibawah tali pusat, sindrom aspirasi
mekoneum, asidemia neonatus, dan angka pelahiran caesar. Sebaliknya Spong et al (1994) tidak menemukan
manfaat ketika mereka membandingkan amnioinfusi terapeutik dengan amnioinfusi
profilaktik terhadap mekoneum. Fraser et
al (2005) melaporkan bahwa amnioinfusi tidak mengurangi risiko sindrom aspirasi
mekoneum, pelahiran caesar, atau indikator utama lainnya untuk morbiditas ibu dan
neonatus. Insiden kematian perinatal atau morbiditas tidak berbeda secara nyata
yaitu 4,5 versus 3,4 persen pada wanita yang mendapat amnioinfusi dibandingkan
dengan kontrol. Xu et al (2007)
mendapatkan tidak ada bukti yang menyatakan bahwa amnioinfusi akan menurunkan
risiko sindrom aspirasi mekoneum ataupun pelahiran caesar.( bab kelainan volum
cairan amnion). Sementara American College of Obtetric and Gynecology (2006)
tidak merekomendasikan amnioinfusi untuk mengurangi sindrom aspirasi mekoneum
Pencegahan
Pencegahan
primer yakni dengan upaya mengenali kelompok ibu yang memiliki risiko tinggi
untuk mengalami persalinan prematur. Pencegahan bisa dilakukan terhadap faktor
karakteristik ibu, faktor lingkungan, faktor uterus, faktor plasenta faktor
uterus, faktor plasenta, faktor paternal, faktor farmakologi dan faktor fetus. Pencegahan
sekunder adalah deteksi dini tanda-tanda yang mengarah pada persalinan
prematur. Untuk pencegahan tersier diberikan untuk memperpanjang waktu
persalinan pada ibu yang sudah terdiagnosis persalinan prematur, baik dengan
bedrest maupun dengan obat-obatan.10
Kesimpulan
Kasus
PPROM merupakan salah satu penyebab utama borbiditas dan mortalias perinatal.
Hal ini diperkirakan sekitar 20-30% dari seluruh kelahiran preterm, dan
prognosis tergantung dari usia kehamilan saat ditemukan. Ketepatan diagnosis
sangat ditekankan dalam mendiagnosis PPROM karena berkaitan dengan hasil akhir.
Sekali diagnosis ditegakkan opsi penanganan meliputi rujukan ke rumah sakit,
amniosintesis untuk menyingkirkan korioamnionitis, konsultasi ke neonatologis
dan ahli fetomaternal, pemberian kortikosteroid dan antibiotik jika sesuai
indikasi, dan penanganan secara aktif bilamana usia kehamilan mencukupi
tercapai.
Daftar Pustaka
1. Alamsyah
M, Handono B. Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm. Dalam: Prematuritas.
PT Refika aditama. Bandung; 2009. hal 95-112
2.
Medina TM, Hill DA. Preterm premature
rupture of membrane: diagnosis and management. Am Fam Physician. 2006. p 659-64
3.
Caughey AB, Robinson Jn, Norwitz ER.
Contemporary diagnosis and management of preterm premature rupture of
membranes. Rev obstet gynecol. Vol 1; 2008. p 11-22
4.
Mercer BM. Preterm premature rupture of
the membranes. High risk pregnancy series an expert view. ACOG; 2003. p178-93
5.
Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL,
Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. preterm birth. In: Williams obstetric 23 ed; USA;
McGraw-Hill; 2010. p 804-31
6.
Mochtar AB. Persalinan preterm. Dalam:
Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi 4. Jakarta; 2009. hal 667-76
7.
Krisnadi SR, Pramatirta AY, Siddiq A,
Sitanggang E. Panduan pengelolaan persalinan preterm nasional. HKFM POGI. 2011.
hal 7
8. Forgas
JS, Romero R, Esprinosa J, Erez O, Friel LA, Kusanovic JP et al. Prelabor
rupture of the membranes. In Clinical Obstetric The Fetus and Mother.3 ed.
2007. p 1130-88
9. Cunningham
FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Williams Obstetrics,
edisi 23. New York: Mc Graw Hill, 2010:428-625, 511-21
10. Mose
JC. Pencegahan persalinan prematur. Dalam: Prematuritas. PT Refika aditama.
Bandung; 2009. hal 141-63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar