Senin, 16 September 2013

Preterm Premature Rupture of Membrane



KEHAMILAN PRETERM DENGAN KETUBAN PECAH DINI
Noviardi1, Personaldi2
1Bagian Obstetri dan Ginekologi RSUD Arifin Achmad Pekanbaru
2Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Riau

Pecahnya selaput ketuban merupakan suatu hal yang normal pada saat  proses persalinan. Kehamilan preterm dengan ketuban pecah dini dimaksudkan pada pecahnya selaput ketuban sebelum usia kehamilan 37 minggu dan sebelum adanya tanda-tanda persalinan. Diagnosis yang tepat dan akurat dan sesuai usia kehamilan saat diagnosis ditegakkan sangat diperlukan untuk meningkatkan luaran janin dan meminimalkan komplikasi yang terjadi.

Pendahuluan
Kehamilan preterm dengan ketuban pecah dini (Preterm Premature Rupture of Membrane, PPROM) digunakan untuk kondisi pecahnya selaput ketuban yang terjadi secara spontan saat kehamilan kurang dari 37 minggu dan sebelum terjadinya proses persalinan.1,2 Hal ini merupakan 2-4% komplikasi dari kehamilan janin tunggal dan merupakan 20% komplikasi dari kehamilan kembar.3
Pembagian dari PPROM ini meliputi previable PROM yaitu terjadi sebelum janin berumur 23 minggu, PPROM remote from term (umur viabel sampai 32 minggu) dan PPROM near term (usia kehamilan 32-36 minggu).4
Sebanyak 30-40% dari PPROM ini akan berujung dengan persalinan preterm. Hal ini menambah risiko prematuritas dan komplikasi perinatal serta neonatal, termasuk 1-2% risiko kematian janin. Ibu hamil yang diawasi harus segera dikenali kondisi PPROM karena diagnosis yang cepat dan penanganan yang tepat akan meningkatkan hasil akhir janin.1
Ada banyak hal yang diperkirakan sebagai penyebab, terutama infeksi. Pada banyak penelitian dan literatur dikatakan bahwa kejadian sepsis neonatorum setelah PPROM berkisar 2-20% dengan kejadian kematian neonatal akibat infeksi sekitar 5%.1

Etiologi dan Faktor Risiko
Pada kondisi aterm di lokasi pecahnya ketuban didapatkan penebalan dari komponen jaringan ikat membran, penipisan lapisan sitotrofoblas dan desidua, serta  terpisahnya hubungan cairan amnion dan korion. Perubahan dari kondisi fisiologis ini meliputi pematangan serviks dalam persiapan menghadapi persalinan aterm, dengan hasil terdapatnya kelemahan fokal pada selaput ketuban pada daerah ostium uteri internum yang merupakan daerah predisposisi ruptur.3
Pada tingkat selular, perubahan-perubahan yang terjadi merupakan akibat efek dari pengeluaran fosfolipase, eikosinoid terutama prostaglandin E2, sitokin, elastases, matrix metalloproteinase (MMP), dan enzim protease lainnya dalam respon terhadap stimulus kondisi fisiologis maupun patologis. Sekalipun perubahan selular pada keduanya sama, tetapi penyebab keduanya berbeda.3
Adapun faktor risiko yang diperkirakan untuk terjadinya PPROM spontan telah diidentifikasi yakni: Infeksi cairan amnion dan perdarahan desidua akibat solusio plasenta yang terjadi jauh sebelum aterm akan melepaskan protease kedalam jaringan koriodesidual dan cairan amnion yang akan memicu pecahnya ketuban.3,5 Tindakan atau prosedur selama kehamilan (seperti amniosentesis, CVS, fetoskopi dan cervical cerclage) dapat menimbulkan kerusakan pada membran amnion, menyebabkannya menjadi bocor, tetapi jarang menyebabkan PPROM.3
Risiko untuk kejadian PPROM berulang berkisar 16-32%, sebagaimana dibandingkan dengan kira-kira 4% pada wanita dengan kelahiran sebelumnya normal. Angka ini akan meningkat jika ada bukti bahwa ditemukan penipisan serviks maupun kontraksi uterus pada trimester kedua. Akan tetapi kebanyakan dari kasus PPROM terjadi pada perempuan sehat tanpa dijumpai faktor risiko apapun. Faktor lain yang terkait adalah status sosial ekonomi yang rendah, indeks massa tubuh kurang dari 19,8 dan merokok.6 Adapun hubungan seksual, pemeriksaan dengan spekulum, latihan jasmani pada ibu hamil serta jumlah paritas tidak terkait dengan kejadian PPROM.3
Periode laten merupakan interval waktu antara pecah ketuban dengan onset persalinan. Faktor-faktor berikut terkait dengan periode laten tersebut, diantaranya meliputi usia kehamilan, derajat oligohidramnion, penebalan miometrium pada sonografi, jumlah fetus, komplikasi kehamilan.3
a.       Usia kehamilan.
Terdapat hubungan berbanding terbalik antara usia kehamilan dan periode laten. Saat aterm 50 % dari kehamilan dengan ketuban pecah dini akan partus secara spontan dalam kurun waktu  12 jam, 75% dalam 24 jam, 85% dalam 48 jam dan 95% dalam 72 jam tanpa adanya intervensi apapun. Pada PPROM 50% akan inpartu dalam 24-48 jam dan 70-90% dalam 7 hari. Wanita dengan PPROM pada usia kehamilan 24-28 minggu memiliki periode laten yang lepih lama dibandingkan dengan PPROM yang mendekati aterm.
b.      Derajat oligohidramnion.
Kondisi oligohidramnion berat akan mempersingkat periode laten. Oligohidramnion berat akan menghadirkan lubang besar dalam membran amnion.
c.       Penebalan miometrium pada sonografi.
Bukti dari penebalan miometrium  berlebihan pada perempuan PPROM yang belum inpartu (12mm) pada transabdominal ultrasound dikaitkan dengan pemendekan periode laten.
d.      Jumlah fetus.
Secara umum, pada kondisi kehamilan gemeli disertai PPROM akan memiliki periode laten yang lebih singkat dibandingkan dengan kehamilan tunggal
e.       Komplikasi Kehamilan.
Bukti menunjukkan bahwa pada kehamilan disertai komplikasi seperti infeksi intra amnio, solusio plasenta maupun fetal distress akan memicu pelahiran yang lebih awal dan pemendekan periode laten.
Diagnosis
Secara luas PPROM merupakan suatu diagnosis klinis. Dari anamnesis dijumpai adanya riwayat keluar air-air yang banyak dari vagina dan dikomfirmasi dengan pemeriksaan inspekulo. Pemeriksaan minimal invasif yang menjadi gold standard dalam mendiagnosis ketuban pecah dini meliputi 3 tanda klinis dalam pemeriksaan inspekulo, yakni: 1). Terlihat cairan jernih dalam forniks posterior atau adanya cairan yang keluar dari OUE. 2). Pemeriksaan pH sekret servikovaginal dengan tes nitrazin menunjukkan perubahan warna dari kuning menjadi biru. 3). Ditemukannya gambaran daun pakis secara mikroskopis. Adapun perkiraan jumlah cairan amnion yang sedikit dari pemerikasaan Leopold maupun ultrasound saja tidak dapat menegakkan diagnosis. Dengan pengecualian melihat langsung cairan amnion keluar dari OUE, semua tanda-tanda klinis lainnya memiliki keterbatasan dalam perihal ketepatan diagnosis, biaya dan teknis.3
 Pemeriksaan yang dilakukan setelah lebih dari 1 jam pecah ketuban secara umum menjadi kurang akurat. Mempercayakan pada pemeriksaan klinis saja akan menimbulkan positif palsu dan negatif palsu secara bersama-sama pada hasil. Misalnya tes nitrazin yang hanya dipakai untuk mengkonfirmasi pH alkali dari sekret servikovaginal (pH sekret vagina umumnya 4,5-6 sedangkan pH cairan amnion 7,1-7,3) digunakan secara umum untuk mendiagnosis ketuban pecah dini. Padahal hal ini tidak lepas dari adanya positif palsu terkait servisitis, vaginitis (bakterial vaginosis) dan kontaminasi oleh darah, urin, sperma maupun bahan antiseptik. Adapun sensitivitas dan spesifisitas dari tes ini berturut-turut berkisar 90-97% dan 16-70%. Tes pakis juga tidak luput oleh kemungkinan negatif palsu pada kondisi pengambilan spesimen yang terlalu sedikit atau terkontaminasi darah.3
Ketepatan diagnosis sangat dibutuhkan karena sangat terkait dengan intervensi yang akan dilakukan. Selain itu penting untuk mendiagnosis kasus ini sedini mungkin karena sangat menentukan luaran janin. Sebaliknya kesalahan mendiagnosis sebagai PPROM akan memicu intervensi obstetri yang tidak perlu seperti perawatan inap di rumah sakit, pemberian antibiotik dan kortikosteroid atau bahkan induksi persalinan.3

Komplikasi
Komplikasi yang ditimbulkan ketuban pecah dini tergantung akan usia gestasi. Dapat terjadi infeksi pada ibu maupun janin, persalinan prematur, hipoksia akibat kompresi tali pusat, deformitas pada janin, meningkatkan kasus seksio sesarea dan gagalnya persalinan normal.5
Salah satu komplikasi terbanyak yang dijumpai pada PPROM adalah persalinan preterm.1 Permasalahan yang ditemukan pada persalinan preterm tidak hanya seputar kematian perinatal, lebih dari itu bayi prematur akan diliputi oleh berbagai kelainan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Kelainan jangka pendek meliputi Respiratory distress syndrome, perdarahan intraventrikular, Enterokolitis negrotikans, displasia bronkopulmoner, sepsis dan patensi duktus arteriosus. Adapun efek jangka panjang berupa kelainan neurologis seperti serebral palsi retardasi mental serta prestasi di sekolah yang kurang baik.5
Usia kehamilan saat terjadinya ketuban pecah dini pada dasarnya akan bertolak belakang dengan lamanya periode laten. Kasus ketuban pecah dini pada wanita hamil aterm sebanyak 95%  akan melahirkan dalam kurun 24 jam setelah kejadian, sedangkan pada PPROM yang terjadi saat gestasi 16-26 minggu dijumpai melahirkan sebanyak 57% dalam waktu 1 minggu dan 22% dalam waktu 1 bulan. Saat timbul PPROM yang terlampau dini akan berkaitan dengan malpresentasi, kompresi tali pusat, oligohidramnion, kelainan neurologi, perdarahan otak, sindrom gawat nafas dan enterokolitis nekrotikans.1 Lewis et al (2007) menemukan bahwa penatalaksanaan secara ekspektatif pada wanita dengan ketuban pecah dini preterm disertai kelainan presentasi akan meningkatkan kejadian prolapsus tali pusat, terutama sebelum 26 minggu.6
Korioamnionitis merupakan komplikasi yang cukup sering dijumpai pada kasus PPROM. Demam merupakan tanda penting untuk diagnosis selain leukositosis, takikardi ibu atau janin, nyeri tekan pada uterus, dan sekret vagina yang busuk. Korioamnionitis ini memiliki efek buruk pada janin, diantaranya peningkatan insidensi sepsis, sindrom distres pernafasan, kejang awitan dini, perdarahan otak, dan leukomalasia periventrikular. Bahkan dikatakan bahwa neonatus dengan berat badan lahir sangat rendah akan cenderung mengalami cedera neurologis akibat korioamnionitis seperti peningkatan kejadian serebral palsi setelah anak berusia 3 tahun.6

Pengelolaan
Wanita yang berisiko untuk mengalami persalinan prematur dan memiliki kontraksi dini menjadi sasaran untuk pemberian penanganan untuk meningkatkan luaran janin. Bila tidak ditemukan indikasi ibu maupun janin untuk membutuhkan persalinan segera maka penanganan ditujukan untuk mencegah persalinan prematur. Penanganan meliputi terminasi kehamilan atau dengan ekspektatif. Penting untuk menentukan perlu tidaknya pemberian antibiotik, kortikosteroid atau keduanya. Setelah adanya konfirmasi pecah ketuban, dilakukan langkah-langkah sebagai berikut:1
1.      Pembukaan dan pendataran serviks dilihat dari pemeriksaan inspekulo yang dilakukan secara steril.
2.      Untuk kehamilan dibawah 34 minggu jika tidak ditemukan indikasi ibu maupun janin untuk diterminasi ibu dirawat di kamar bersalin. Pemberian antibiotik parenteral dengan spektrum luas untuk menghindari korioamnionitis. Denyut jantung janin (DJJ) dan kontraksi uterus terus dimonitor untuk mengamati adanya penekanan tali pusat, fetal distress maupun tanda-tanda persalinan.
3.      Kehamilan dibawah 32 minggu, dilakukan pemberian betametason (2 dosis 12 mg IM per 24 jam) atau deksametason (4 dosis 5 mg IM per 12 jam).
4.      Jika kondisi janin baik dan tidak ditemukan tanda-tanda inpartu ibu dipindahkan ke ruang perawatan antepartum serta dimonitor adanya tanda-tanda inpartu, infeksi maupun gawat janin.
5.      Untuk kehamilan diatas atau sama dengan 34 minggu jika tidak terdapat tanda inpartu dilakukan induksi persalinan apabila tidak ada kontra indikasi. Pelahiran perabdominal dilakukan bila ada indikasi secara obstetri, termasuk gagal induksi.
6.      Selama induksi pemberian antibiotik parenteral diberikan untuk mencegah infeksi streptokokus.
Penggunaan kortikosteroid oleh National Institute of Health Consensus Development Conference (2000) direkomendasikan selama antenatal pada wanita dengan ketuban pecah dini sebelum 32 minggu dan tidak terdapat tanda-tanda korioamnionitis. American College of Obstetricians and Gynecologist (2007) tidak menyarankan untuk pemberian  kortikosteroid sebelum 24 minggu.6
            Pemakaian antibiotik untuk mencegah persalinan kurang bulan banyak dilakukan dibeberapa sentra. Morency dan Bujold (2007) melakukan studi metaanalisis terhadap 61 artikel dan menyatakan bahwa antibiotik yang diberikan pada trimester kedua dapat mencegah kelahiran kurang bulan berikutnya. Pada studi oleh Goldenberg et al (2006) yang melibatkan 2.661 wanita secara random di empat tempat di Afrika dengan menggunakan plasebo atau eritromisin ditambah metronidazol saat usia kehamilan 20-24 minggu, dan diikuti dengan ampisilin dan ditambah dengan metronidazol selama persalinan dikatakan tidak mengurangi tingkat kelahiran prematur ataupun korioamnionitis.6
            Penggunaan tokolitik hingga kini masih menjadi perdebatan. Tujuan utama adalah untuk menurunkan terjadinya persalinan dalam 48 jam atau 7 hari setelah pemberian obat khususnya untuk memberikan kesempatan pemberian pematangan paru. Tokolitik hanya direkomendasikan untuk kehamilan preterm dengan ancaman persalinan yang tidak disertai dengan komplikasi lain, seperti kelainan kongenital, infeksi intra uterin, preeklamsi berat, solusio plasenta, adanya insufisiensi plasenta yang berat, dan dilatasi serviks yang lanjut. Tokolitik terpilih adalah nipedipine dan atosiban yang memiliki efektifitas sebanding dalam menunda persalinan hingga tujuh hari.7
Amnioinfusi
            Oligohidramnion merupakan faktor risiko terjadinya keabnormalan pada denyut jantung janin selama persalinan. Percobaan pada monyet Rhesus memperlihatkan bahwa kehilangan cairan amnion berkaitan dengan deselerasi jantung janin dan membaik setelah penggantian volume cairan. Moberg et al melaporkan bahwa pasien dengan PPROM mempunyai insidensi seksio sesarea lebih tinggi karena fetal distress dibandingkan dengan persalinan preterm disertai membran yang utuh.8
Berbagai penelitian telah mengevaluasi apakah amnioinfusi intrapartum bisa mencegah morbiditas janin akibat ketuban yang tercampur mekoneum, dan sering dikaitkan dengan oligohidramnion. Pierce et al (2000) melakukan meta analisis terhadap 13 penelitian yang terdiri dari 1900 wanita. Ditemukan penurunan hasil buruk secara signifikan yang mencakup mekoneum dibawah tali pusat, sindrom aspirasi mekoneum, asidemia neonatus, dan angka pelahiran caesar.  Sebaliknya Spong et al (1994) tidak menemukan manfaat ketika mereka membandingkan amnioinfusi terapeutik dengan amnioinfusi profilaktik terhadap mekoneum.  Fraser et al (2005) melaporkan bahwa amnioinfusi tidak mengurangi risiko sindrom aspirasi mekoneum, pelahiran caesar, atau indikator utama lainnya untuk morbiditas ibu dan neonatus. Insiden kematian perinatal atau morbiditas tidak berbeda secara nyata yaitu 4,5 versus 3,4 persen pada wanita yang mendapat amnioinfusi dibandingkan dengan kontrol.  Xu et al (2007) mendapatkan tidak ada bukti yang menyatakan bahwa amnioinfusi akan menurunkan risiko sindrom aspirasi mekoneum ataupun pelahiran caesar.( bab kelainan volum cairan amnion). Sementara American College of Obtetric and Gynecology (2006) tidak merekomendasikan amnioinfusi untuk mengurangi sindrom aspirasi mekoneum

Pencegahan

            Pencegahan primer yakni dengan upaya mengenali kelompok ibu yang memiliki risiko tinggi untuk mengalami persalinan prematur. Pencegahan bisa dilakukan terhadap faktor karakteristik ibu, faktor lingkungan, faktor uterus, faktor plasenta faktor uterus, faktor plasenta, faktor paternal, faktor farmakologi dan faktor fetus. Pencegahan sekunder adalah deteksi dini tanda-tanda yang mengarah pada persalinan prematur. Untuk pencegahan tersier diberikan untuk memperpanjang waktu persalinan pada ibu yang sudah terdiagnosis persalinan prematur, baik dengan bedrest maupun dengan obat-obatan.10

Kesimpulan
Kasus PPROM merupakan salah satu penyebab utama borbiditas dan mortalias perinatal. Hal ini diperkirakan sekitar 20-30% dari seluruh kelahiran preterm, dan prognosis tergantung dari usia kehamilan saat ditemukan. Ketepatan diagnosis sangat ditekankan dalam mendiagnosis PPROM karena berkaitan dengan hasil akhir. Sekali diagnosis ditegakkan opsi penanganan meliputi rujukan ke rumah sakit, amniosintesis untuk menyingkirkan korioamnionitis, konsultasi ke neonatologis dan ahli fetomaternal, pemberian kortikosteroid dan antibiotik jika sesuai indikasi, dan penanganan secara aktif bilamana usia kehamilan mencukupi tercapai.

Daftar Pustaka
1.      Alamsyah M, Handono B. Ketuban pecah dini pada kehamilan preterm. Dalam: Prematuritas. PT Refika aditama. Bandung; 2009. hal 95-112
2.      Medina TM, Hill DA. Preterm premature rupture of membrane: diagnosis and management. Am Fam Physician. 2006. p 659-64
3.      Caughey AB, Robinson Jn, Norwitz ER. Contemporary diagnosis and management of preterm premature rupture of membranes. Rev obstet gynecol. Vol 1; 2008. p 11-22
4.      Mercer BM. Preterm premature rupture of the membranes. High risk pregnancy series an expert view. ACOG; 2003. p178-93
5.      Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. preterm birth. In: Williams obstetric 23 ed; USA; McGraw-Hill; 2010. p 804-31
6.      Mochtar AB. Persalinan preterm. Dalam: Ilmu kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi 4. Jakarta; 2009. hal 667-76
7.      Krisnadi SR, Pramatirta AY, Siddiq A, Sitanggang E. Panduan pengelolaan persalinan preterm nasional. HKFM POGI. 2011. hal 7
8.      Forgas JS, Romero R, Esprinosa J, Erez O, Friel LA, Kusanovic JP et al. Prelabor rupture of the membranes. In Clinical Obstetric The Fetus and Mother.3 ed. 2007. p 1130-88
9.      Cunningham FG, Leveno KJ, Bloom SL, Hauth JC, Rouse DJ, Spong CY. Williams Obstetrics, edisi 23. New York: Mc Graw Hill, 2010:428-625, 511-21
10.  Mose JC. Pencegahan persalinan prematur. Dalam: Prematuritas. PT Refika aditama. Bandung; 2009. hal 141-63


Tidak ada komentar:

Posting Komentar